Senin, 31 Oktober 2011

Erhu

Xiangqi dan Erhu di Pekan Budaya Peh Cun
Pradaningrum Mijarto | Kamis, 28 Mei 2009 | 14:50 WIB
Dibaca: 54
|
Share:

Seorang pria dengan erhu-nya. Alat musik ini seperti biola tapi lebih panjang dan kurus dengan hanya dua senar.

TERKAIT:
KOMPAS.com — Susilawati tak lelah berupaya. Tak hanya sebagai pionir revitalisasi di kawasan Kota Tua, ia juga menjadi contoh pribadi yang melakukan, bukan banyak bicara tapi tak ada aksi atau kebanyakan gaya tapi kosong. Perempuan 59 tahun itu sudah mulai menghidupkan kawasan di seberang Pasar Ikan— Jalan Kakap—tahun 1998 dengan menyulap bangunan bekas galangan kapal dari antara abad ke-17 dan ke-18 menjadi Kafe/Restoran VOC Galangan tanpa mengubah bentuk bangunan itu sendiri. Miliaran rupiah mengucur keluar dari koceknya. Hingga kini, gedung ini masih merasa 'sendiri' bahkan nyaris ditutup.

Pasalnya, kawasan di seputaran gedung bekas galangan di masa Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) ini seperti Jalan Tongkol, Jalan Kakap, Jalan Asem Baru, termasuk di kawasan Pasar Ikan, Museum Bahari, belum tersentuh revitalisasi. Agak beruntung, kali yang mengalir di depan Gedong Galangan VOC—begitu nama gedung itu sekarang—sudah sedikit dipercantik. Bukan kondisi air di kanal tentunya, tapi penurapan dan pengadaan sedikit jalur pedestrian di seberang Jalan Pasar Ikan.

Galangan kapal ini sudah beroperasi sejak 1632. Compagnies Timmer en Scheepswerf (Bengkel Kayu dan Galangan Kapal Kompeni) ini berdiri di atas tanah urukan di tepi barat Kalibesar ketika Ciliwung diluruskan, mulai dari Pintu Kecil, sampai ke Pasar Ikan. Dalam buku Galangan Kapal Batavia Selama Tiga Ratus Tahun yang ditulis Adolf Heuken dan Grace Pamungkas, tertulis bahwa sampai penutupan Ciliwung di Glodok (1920), Kalibesar ini menyalurkan air Ciliwung ke Pasar Ikan. Namun, kini hanya Kali Krukut yang mengalirkan air ke Kalibesar. Kebakaran besar yang terjadi pada tahun 1721 diyakini merusak sebagian kompleks galangan kapal.

Dalam rangka menghidupkan “diri sendiri” itulah Susilawati kemudian menggagas penyelenggaraan Pekan Budaya Pe Cun/Pee Cun/Peh Cun. Ini adalah kali pertama, setelah sekian lama, tak ada perayaan Peh Cun di Jakarta khususnya di bekas Batavia Lama. Dalam bahasa Indonesia, Peh Cun berarti mendayung perahu. Meski tak bakal ada perlombaan perahu naga seperti yang biasa digelar di Festival Cisadane, Tangerang, pada pekan budaya yang dimulai secara resmi hari ini, Kamis (28/5) hingga Minggu (31/5) menampilkan cukup banyak budaya Tionghoa yang terlupakan, yang nyaris hilang.

Selain memperkenalkan dan mengingatkan kembali akan keberadaan Gedong Galangan VOC, pekan budaya ini juga bertujuan mengangkat kembali dan melestarikan budaya Tionghoa. Tentu, semua pihak berharap, acara ini akan menjadi agenda tahunan, seperti juga Imlek dan Cap Go Meh.

Walaupun baru dibuka secara resmi hari ini sekitar pukul 15.00 oleh Wali Kota Jakarta Utara Bambang Sugiyono, pada Rabu (27/5) sudah digelar acara pendahuluan, yaitu lomba membuat bacang oleh Perempuan INTI (Perhimpunan Indonesia Tionghoa). Bacang menjadi salah satu penganan khas dalam perayaan Peh Cun. Bacang (bakcang) adalah makanan yang terbuat dari beras dengan diisi daging cincang di dalamnya. Latar belakang perayaan ini tak lain untuk mengenang dan menghormati jasa dari seorang negarawan yang bernama Qu Yuan, berasal dari negara Cho, pada masa Dinasti Ciu di China.

Qu Yuan, demikian legenda bicara, mengorbankan jiwa dan raganya dengan menceburkan diri ke sungai pada tanggal lima bulan lima sehingga rakyatnya merasa sedih karena kehilangan seorang yang arif bijaksana ini. Agar jasad dari Qu Yuan—yang tidak bisa ditemukan—tidak dimakan hewan-hewan air, maka rakyat negeri Cho berlomba melemparkan bacang ke dalam sungai tersebut. Dari situlah pesta bacang terus digelar secara turun-temurun di mana-mana.

Tentang lomba perahu naga, ini adalah bagian dari begitu banyak asal-usul tentang Peh Cun. Bagi masyarakat di Sungai Yang Tze, kebiasaan ini terkait dengan Qu Yuan yang menceburkan diri ke sungai. Konon, masyarakat langsung mendayung perahu untuk menolong Qu Yuan. Maka lomba mendayung perahu pun menjadi salah satu kebiasaan yang dilakukan saat Peh Cun.

Yang menarik di sore hari pada pembukaan, pengunjung bisa melihat-lihat LAN Art&Gallery yang dibuka bersamaan peresmian acara, mengetahui seluk-beluk kaligrafi di YAYI Calligraphy & Painting Research Institute sekaligus menikmati pameran kaligrafi memperingati Qu Yuan. Selain itu, ada pula pameran lukisan Jin Yang, pelukis China. Pameran lukisan dan kaligrafi berlangsung hingga 31 Mei 2009.

Bagi mereka yang ingin melihat dan mendengarkan musik klasik China inilah saatnya. Saatnya pula mengenal alat musik erhu. Erhu adalah alat musik tradisional China dari 1.000 tahun lalu. Alat ini seperti biola, tapi lebih panjang dan kurus dengan hanya dua senar. Biasanya dimainkan dalam pangkuan dengan posisi vertikal.

Di akhir pekan, Sabtu, William Kwan si ahli batik Lasem akan berbicara tentang “Pengaruh Budaya China pada Batik Pesisiran" tepat pada pukul 14.00. Sebelumnya, pukul 10.00, Persatuan Xiangqi Indonesia (PEXI) akan memamerkan catur china atau catur gajah. Khusus untuk permainan xiangqi ini akan digelar Sabtu dan Minggu.

Xiangqi seperti permainan catur pada umumnya, hanya saja pion/bidak yang digunakan bentuknya bulat tebal dengan bahasa Mandarin di atasnya. Untuk lebih mengenal budaya dan kebiasaan Tionghoa—yang membangun Batavia—ada baiknya folklor Tionghoa di Batavia kembali digali. Bukan hanya sebagai atraksi wisata, tapi juga demi penelitian sejarah Jakarta yang masih banyak bolongnya.